BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG MASALAH
Perkembangan moral dan etika di
tengah-tengah masyarakat akhir-akhir ini semakin pesat. Tak sampai disitu saja,
perkembangan ini juga memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap pola pikir
dan pilihan yang diambil oleh mereka, bentuk dan perkembangan moral dan etika
yang terjadi di masyarakat bermacam-macam dan salah satunya adalah Euthanasia.
Euthanasia merupakan suatu isu yang kompleks dan sangat kontroversial, sehingga
melibatkan banyaknya pertanyaan yang membingungkan dan menimbulkan kubu yang
pro dan kubu yang kontra.
Di dalam Al qur’an surat Al-Mulk
ayat 2, diingatkan bahwa hidup dan mati adalah di tangan Tuhan yang Ia ciptakan
untuk menguji iman, amalan, dan ketaatan manusia terhadap Tuhan, karena itu,
islam sangat memperhatikan keselamatan hidup dan kehidupan manusia sejak ia
berada di rahim ibunya sampai sepanjang hidupnya. Dan untuk melindungi
keselamatan hidup dan kehidupan manusia itu, islam menetapkan berbagai norma
hukum perdana dan perdata beserta sangsi – sangsi hukumannya, baik di dunia
berupa hukuman had dan qisas termasuk hukuman mati, diyat (denda), atau ta’zir,
ialah hukuman yang ditetapkan oleh ulul amr atau lembaga peradilan, maupun
hukuman di akhirat berupa siksaan Tuhan di neraka kelak. Karena hidup dan mati
ditangan Tuhan, maka islam melarang orang melakukan pembunuhan, baik terhadap
orang lain maupun terhadap dirinya sendiri[1].
Setiap makhluk hidup, termasuk
manusia akan mengalami siklus kehidupan yang dimulai dari proses pembuahan,
kelahiran, kehidupan di dunia dengan berbagai permasalahannya, dan diakhiri
dengan kematian. Dari berbagai siklus kehidupan di atas, kematian merupakan
salah satu yang masih mengandung misteri yang sangat besar.
كل نفس ذائقة الموت ......
الآية (آل عمران:185)
“Tiap-tiap yang berjiwa akan
merasakan mati”
Sampai saat ini kematian merupakan
misteri yang paling besar, dan ilmu pengetahuan belum berhasil menguaknya. Satu
satunya jawaban tersedia di dalam ajaran agama. Kematian sebagai akhir dari
rangkaian kehidupan di dunia ini, merupakan hak dari Tuhan. Tidak ada
seorangpun yang berhak untuk menunda sedetikpun waktu kematiannya, termasuk
mempercepat waktu kematiannya.
B. RUMUSAN
MASALAH
a)
Apa pengertian euthanasia?
b)
Bagaimana hukum islam tentang euthanasia?
c)
Bagaimana hukum positif tentang euthanasia?
C.
TUJUAN PENULISAN
a)
Untuk mengetahui pengertian euthanasia
b) Untuk
mengetahui hukum islam tentang euthanasia
c) Untuk
mengetahui hukum positif tentang euthanasia
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Euthanasia
Euthanasia secara bahasa berasal
dari bahasa Yunani eu yang berarti “baik”, dan thanatos, yang berarti
“kematian”[2].
Dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah qatlu ar-rahma atau taysir al-maut.
Menurut istilah kedokteran, euthanasia berarti tindakan agar kesakitan atau
penderitaan yang dialami seseorang yang akan meninggal diperingan. Juga berarti
mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat
menjelang kematiannya[3].
B. Macam Macam Euthanasia
Dalam praktik kedokteran, dikenal
dua macam euthanasia[4],
yaitu:
I.
Euthanasia aktif
Euthanasia aktif adalah tindakan
dokter mempercepat kematian pasien dengan memberikan suntikan ke dalam tubuh
pasien tersebut. Suntikan diberikan pada saat keadaan penyakit pasien sudah
sangat parah atau sudah sampai pada stadium akhir, yang menurut perhitungan
medis sudah tidak mungkin lagi bisa sembuh atau bertahan lama. Alasan yang
biasanya dikemukakan dokter adalah bahwa pengobatan yang diberikan hanya akan
memperpanjang penderitaan pasien serta tidak akan mengurangi sakit yang memang
sudah parah.
Contoh euthanasia aktif, misalnya
ada seseorang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang luar biasa sehingga
pasien sering kali pingsan. Dalam hal ini, dokter yakin yang bersangkutan akan
meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis)
yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan
pernapasannya sekaligus.
II.
Euthanasia Pasif
Adapun euthanasia pasif, adalah
tindakan dokter menghentikan pengobatan pasien yang menderita sakit keras, yang
secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan. Penghentian pengobatan
ini berarti mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim dikemukakan dokter
adalah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas, sementara dana yang
dibutuhkan untuk pengobatan sangat tinggi, sedangkan fungsi pengobatan menurut
perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi. Terdapat tindakan lain yang bisa
digolongkan euthanasia pasif, yaitu tindakan dokter menghentikan pengobatan
terhadap pasien yang menurut penelitian medis masih mungkin sembuh. Alasan yang
dikemukakan dokter umumnya adalah ketidakmampuan pasien dari segi ekonomi, yang
tidak mampu lagi membiayai dana pengobatan yang sangat tinggi.
Contoh euthanasia pasif, misalkan
penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam keadaan koma,
disebabkan benturan pada otak yang tidak ada harapan untuk sembuh. Atau, orang
yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati maka dapat
mematikan penderita. Dalam kondisi demikian, jika pengobatan terhadapnya
dihentikan, akan dapat mempercepat kematiannya.
Menurut Deklarasi Lisabon 1981,
euthanasia dari sudut kemanusiaan dibenarkan dan merupakan hak bagi pasien yang
menderita sakit yang tidak dapat disembuhkan. Namun dalam praktiknya dokter
tidak mudah melakukan euthanasia, karena ada dua kendala. Pertama, dokter
terikat dengan kode etik kedokteran bahwa ia dituntut membantu meringankan
penderitaan pasien Tapi di sisi lain, dokter menghilangkan nyawa orang lain
yang berarti melanggar kode etik kedokteran itu sendiri. Kedua, tindakan menghilangkan
nyawa orang lain merupakan tindak pidana di negara mana pun[5].
C. Hak pasien dan pembatasannya
Penghormatan
hak pasien untuk penentuan nasib sendiri masih memerlukan pertimbangan dari
seorang dokter terhadap pengobatannya.Hal ini berarti para dokter harus
mendahulukan proses pembuatan keputusan yang normal dan berusaha bertindak
sesuai dengan kemauan pasien sehingga keputusan dapat diambil berdasarkan
pertimbangan yang matang.Pasien harus diberi kesempatan yang luas untuk
memutuskan nasibnya tanpa adanya tekanan dari pihak manapun setelah diberikan
informasi yang cukup sehingga keputusannya diambil melalui pertimbangan yang
jelas.Beberapa pasien tidak dapat menentukan pilihan pengobatan sehingga harus
orang lain yang memutuskan apa tindakan yang terbaik bagi pasien itu.Orang lain
disni tentu dimaksudkan orang yang paling dekat dengan pasien dan dokter harus
menghargai pendapat-pendapat tersebut.
D. Kewajiban perawat dalam kasus euthanasia
a.
memfasilitasi
klien dalam memenuhi kebutuhan dasarnya
b.
membantu
proses adaptasi klien terhadap penyakit / masalah yang sedang dihadapinya
c.
mengoptimalkan
system dukungan
d.
membantu
klien untuk menemukan mekanisme koping yang adaptif terhadap masalah yang telah
dihadapi
e.
membantu
klien untuk lebih mendekatkan diri kepada tuhan yang maha esa sesuai dengan
keyakinannya[6].
E. Pandangan Syariah Islam
Syariah Islam merupakan syariah
sempurna yang mampu mengatasi segala persoalan di segala waktu dan tempat.
Berikut ini solusi syariah terhadap euthanasia, baik euthanasia aktif maupun
euthanasia pasif.
1.
Euthanasia
Aktif
Syariah Islam mengharamkan
euthanasia aktif, karena termasuk dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu
al-‘amad), walaupun niatnya baik yaitu untuk meringankan penderitaan pasien.
Hukumnya tetap haram, walaupun atas permintaan pasien sendiri atau keluarganya.
Dalil-dalil dalam masalah ini
sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan pembunuhan. Baik
pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri sendiri. Misalnya firman Allah
SWT :
.......
و لا تقتلوا النفس التي حرم الله إلا بالحق.... الآية.(الأنعام:151)
“Dan
janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya)
melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS Al-An’aam : 151)
و ما كان لمؤمن أن يقتل مؤمنا إلا خطأ.... الآية. (النساء: 92)
“Dan tidak
layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain), kecuali karena
tersalah (tidak sengaja)…” (QS An-Nisaa` : 92)
.......و لا تقتلوا أنفسكم إن الله كان بكم رحيما.... الآية. (النساء: 29)
“Dan janganlah
kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS
An-Nisaa` : 29)[7].
Dari
dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya bagi dokter melakukan
euthanasia aktif. Sebab tindakan itu termasuk ke dalam kategori pembunuhan
sengaja (al-qatlu al-‘amad) yang merupakan tindak pidana (jarimah) dan dosa
besar.
Dokter yang melakukan euthanasia
aktif, misalnya dengan memberikan suntikan mematikan, menurut hukum pidana
Islam akan dijatuhi qishash (hukuman mati karena membunuh), oleh pemerintahan
Islam (Khilafah), sesuai firman Allah :
يا ايها الذين آمنوا كتب عليكم القصاص في القتلى.... الآية.(البقرة: 178)
“Telah
diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.” (QS
Al-Baqarah : 178)
Namun jika keluarga terbunuh
(waliyyul maqtuul) menggugurkan qishash (dengan memaafkan), qishash tidak
dilaksanakan. Selanjutnya mereka mempunyai dua pilihan lagi, meminta diyat
(tebusan), atau memaafkan/menyedekahkan.
Firman Allah
SWT :
....... فمن عفي له من أخيه شيء فاتباع بالمعروف و
أداء إليه بإحسان .... الآية.(البقرة: 178)
“Maka
barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang
memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf)
membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula).” (QS
Al-Baqarah : 178)
Diyat untuk pembunuhan sengaja
adalah 100 ekor unta di mana 40 ekor di antaranya dalam keadaan bunting
(khalifah), 30 ekor umur 3 tahun (hiqqah) dan 30 ekor berumur 4 tahun
(jadzaah) berdasarkan hadits Nabi riwayat An-Nasa`i[8].
Jika dibayar dalam bentuk dinar (uang emas) atau dirham (uang perak), maka
diyatnya adalah 1000 dinar, atau senilai 4250 gram emas (1 dinar = 4,25 gram
emas), atau 12.000 dirham, atau senilai 35.700 gram perak (1 dirham = 2,975
gram perak).
Tidak dapat diterima, alasan
euthanasia aktif yang sering dikemukakan yaitu kasihan melihat penderitaan
pasien sehingga kemudian dokter memudahkan kematiannya. Alasan ini hanya
melihat aspek lahiriah (empiris), padahal di balik itu ada aspek-aspek lainnya
yang tidak diketahui dan tidak dijangkau manusia. Dengan mempercepat kematian
pasien dengan euthanasia aktif, pasien tidak mendapatkan manfaat (hikmah) dari
ujian sakit yang diberikan Allah kepada-Nya, yaitu pengampunan dosa. Rasulullah
SAW bersabda,”Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim suatu musibah, baik
kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan, maupun penyakit, bahkan duri yang
menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah
yang menimpanya itu.” (HR Bukhari dan Muslim).
“Telah ada
diantara orang-orang sebelum kamu seorang laki-laki yang mendapat luka, lalu
keluh kesahlah ia. Maka ia mengambil pisau lalu memotong tangannya dengan pisau
itu. Kemudian tidak berhenti-henti darahnya keluar sehingga ia mati. Maka Allah
berfirman : hambaku telah menyegerakan kematiannya sebelum aku mematikan. Aku
mengharamkan surga untuknya.” (HR Bukhari dan Muslim)[9].
2. Euthanasia
Pasif
Adapun hukum euthanasia pasif,
sebenarnya faktanya termasuk dalam praktik menghentikan pengobatan. Tindakan
tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan dokter bahwa pengobatan yag dilakukan
tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan sembuh kepada pasien.
Karena itu, dokter menghentikan pengobatan kepada pasien, misalnya dengan cara menghentikan
alat pernapasan buatan dari tubuh pasien.
Bagaimanakah hukumnya menurut
Syariah Islam?
Jawaban untuk pertanyaan itu,
bergantung kepada pengetahuan kita tentang hukum berobat (at-tadaawi) itu
sendiri. Yakni, apakah berobat itu wajib, mandub,mubah, atau makruh? Dalam
masalah ini ada perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama, mengobati atau
berobat itu hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib. Namun sebagian ulama ada
yang mewajibkan berobat, seperti kalangan ulama Syafiiyah dan Hanabilah,
seperti dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah[10].
Dasar dari pada kewajiban berobat
oleh sebagian ulama adalah hadits bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap kali
menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula obatnya. Maka berobatlah kalian!” (HR Ahmad,
dari Anas RA)
Hadits di atas menunjukkan
Rasulullah SAW memerintahkan untuk berobat. Menurut ilmu Ushul Fiqih, perintah
(al-amr) itu hanya memberi makna adanya tuntutan (li ath-thalab), bukan
menunjukkan kewajiban (li al-wujub). Ini sesuai kaidah ushul :
الأصل في الأمر للطلب
“Perintah
itu pada asalnya adalah sekedar menunjukkan adanya tuntutan.”
Jadi, hadits riwayat Imam Ahmad di
atas hanya menuntut kita berobat. Dalam hadits itu tidak terdapat suatu
indikasi pun bahwa tuntutan itu bersifat wajib. Bahkan, qarinah yang ada dalam
hadits-hadits lain justru menunjukkan bahwa perintah di atas tidak bersifat
wajib. Hadits-hadits lain itu membolehkan tidak berobat.
Di antaranya ialah hadits yang
diriwayatkan Ibnu Abbas RA, bahwa seorang perempuan hitam pernah datang kepada
Nabi SAW lalu berkata,”Sesungguhnya aku terkena penyakit ayan (epilepsi) dan
sering tersingkap auratku [saat kambuh]. Berdoalah kepada Allah untuk
kesembuhanku!” Nabi SAW berkata,”Jika kamu mau, kamu bersabar dan akan mendapat
surga. Jika tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.”
Perempuan itu berkata,”Baiklah aku akan bersabar,” lalu dia berkata
lagi,”Sesungguhnya auratku sering tersingkap [saat ayanku kambuh], maka
berdoalah kepada Allah agar auratku tidak tersingkap.” Maka Nabi SAW lalu
berdoa untuknya. (HR Bukhari)
Hadits di atas menunjukkan bolehnya
tidak berobat. Jika hadits ini digabungkan dengan hadits pertama di atas yang
memerintahkan berobat, maka hadits terakhir ini menjadi indikasi (qarinah),
bahwa perintah berobat adalah perintah sunnah, bukan perintah wajib.
Kesimpulannya, hukum berobat adalah sunnah (mandub), bukan wajib.
Dengan
demikian, jelaslah pengobatan atau berobat hukumnya sunnah, termasuk dalam hal
ini memasang alat-alat bantu bagi pasien. Jika memasang alat-alat ini hukumnya
sunnah, maka jika para dokter telah menetapkan bahwa si pasien telah mati organ
otaknya, maka para dokter berhak menghentikan pengobatan, seperti menghentikan
alat bantu pernapasan dan sebagainya. Sebab pada dasarnya penggunaan alat-alat
bantu tersebut adalah termasuk aktivitas pengobatan yang hukumnya sunnah, bukan
wajib. Kematian otak tersebut berarti secara pasti tidak memungkinkan lagi
kembalinya kehidupan bagi pasien. Meskipun sebagian organ vital lainnya masih
bisa berfungsi, tetap tidak akan dapat mengembalikan kehidupan kepada pasien,
karena organ-organ ini pun akan segera tidak berfungsi.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka
hukum pemasangan alat-alat bantu kepada pasien adalah sunnah, karena termasuk
aktivitas berobat yang hukumnya sunnah. Karena itu, hukum euthanasia pasif
dalam arti menghentikan pengobatan dengan mencabut alat-alat bantu pada pasien-setelah
matinya/rusaknya organ otak hukumnya boleh (jaiz) dan tidak haram bagi dokter.
Jadi setelah mencabut alat-alat tersebut dari tubuh pasien, dokter tidak dapat
dapat dikatakan berdosa dan tidak dapat dimintai tanggung jawab mengenai
tindakannya itu.
Namun untuk bebasnya tanggung jawab
dokter, disyaratkan adanya izin dari pasien, walinya, atau washi-nya (washi
adalah orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan mengurus pasien). Jika pasien
tidak mempunyai wali, atau washi, maka wajib diperlukan izin dari pihak
penguasa (Al-Hakim/Ulil Amri).
1.
Menurut Aspek Medis
Dalam bidang kedokteran, euthanasia
merupakan sebuah dilema yang menempatkan seorang dokter dalam posisi yang serba
sulit. Euthanasia berarti kematian yang membahagiakan atau mati cepat tanpa
derita. Dalam perkembangannya pengertian ini berkembang menjadi pembunuhan atau
pengakhiran hidup karena belas kasihan (mercy killing) dan membiarkan seseorang
untuk mati secara menyenangkan (mercy death).
Selain tanggung jawab medik, seorang
dokter harus dapat mempertanggung jawabkan semua perbuatannya terhadap pasien
menurut hukum yang berlaku. Para dokter harus menyadari bahwa euthanasia
ternyata memiliki muatan hukum dibandingkan dengan masalah teknis-medis
lainnya. Baik menurut Sumpah Dokter maupun Etika Kedokteran, euthanasia tidak
diperbolehkan untuk dilakukan. Dalam pasal 9, bab II (1969) Kode Etik
Kedokteran Indonesia tentang kewajiban dokter kepada pasien, disebutkan bahwa
seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup
makhluk insani. Ini berarti bahwa menurut kode etik kedokteran, dokter tidak
diperbolehkan mengakhiri hidup seorang yang sakit meskipun menurut pengetahuan
dan pengalaman tidak akan sembuh lagi. Tetapi apabila pasien sudah dipastikan
mengalami kematian batang otak atau kehilangan fungsi otaknya sama sekali, maka
pasien tersebut secara keseluruhan telah mati walaupun jantungnya masih
berdenyut. Penghentian tindakan terapeutik harus diputuskan oleh dokter yang
berpengalaman yang mengalami kasus-kasus secara keseluruhan dan sebaiknya hal
itu dilakukan setelah diadakan konsultasi dengan dokter yang berpengalaman,
selain harus pula dipertimbangkan keinginan pasien, kelurga pasien, dan
kualitas hidup terbaik yang diharapkan. Dengan demikian, dasar etik moral untuk
melakukan euthanasia adalah memperpendek atau mengakhiri penderitaan pasien dan
bukan mengakhiri hidup pasien.
2.
Menurut Aspek Hukum
Dari sudut hukum pidana KUHP
mengatur masalah euthanasia melalui beberapa pasal khususnya pasal 344 yang
sering disebut sebagai “pasal euthanasia”. Pasal ini berbunyi “barangsiapa
menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang
disebutkannya dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh, dihukum penjara
selama-lamanya 12 tahun” . Jika dokter membiarkan pasien meninggal atau tidak
melakukan suatu tindakan medis (euthanasia pasif), dokter dapat dituntut
berdasarkan pasal 304 KUHP. Pasal tersebut berbunyi:
“barang siapa dengan sengaja
menempatkan atau membiarkan seseorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut
hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan ia wajib memberikan
kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana
penjara....”.
Sebaliknya jika dilakukan suatu
tindakan medis lalu pasien meninggal, dokter itu bisa dituntut karena
menghilangkan nyawa orang lain. Selain itu pasal 35 mengatakan
“barangsiapa sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberi sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana paling lama empat tahun kalau orang itu jadi bunuh diri.”
“barangsiapa sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberi sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana paling lama empat tahun kalau orang itu jadi bunuh diri.”
BAB IV
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pemaparan makalah
diatas, dapat disimpulkan bahwa Euthanasia tidak boleh dilakukan didunia
Kedokteran maupun didalam kehidupan masyarakat karena hal tersebut melanggar
Kode Etik Kedokteran dan melanggar KUHP didalam masyarakat. Disamping fakta
bahwa Euthanasia itu dapat membantu masayarakat dalam memiliki hak dan
kewajiban untuk mengakhiri kehidupan orang-orang yang mengalami koma yang tidak
berpengharapan. Akan tetapi, hal penting yang perlu diingat dan perlu
diperhatikan juga adalah bahwa tindakan Euthanasia itu sama dengan melakukan
tindak pembunuhan dan mencabut hak hidup seseorang. Karena belum tentu
orang-orang yang berada dalam kesakitan yang hebat dan menginginkan kematian
sungguh-sungguh mengetahui apa yang dikehendakinya. Sebagai manusia yang
berpikir kritis kita harus ingat bahwa kita adalah manusia ciptaan Tuhan, yang
telah diberikan akal dan budi agar mampu mengembangkan secara maksimal apa yang
telah diberikanNya kita dengan kreatif dan mampu mengatur diri kita sehingga
tidak menyalahgunakan apa yang telah diberikanNya kepada kita untuk melakukan
hal-hal yang tidak bertanggung jawab yang bertentangan dengan moral dan etika,
seperti membunuh orang dengan cara apapun.
Oleh karena itu, kita sebagai manusia
yang memiliki Critical Thinking, kita perlu menolak Euthanasia ini, sebab
ketika kita menyetujui hal ini, kita sama saja dengan orang yang tidak beragama
dan tidak memiliki moral serta etika yang baik yang menginginkan kematian dan
pembunuhan terhadap orang lain.
DAFTAR PUSTAKA
·
As’ad, Aliy, Drs. H. 1979. Tarjamah Fathul
Mu’in. Kudus. Menara Kudus
·
Hasan, M.Ali. 1995. Masail Fiqhiyah Al-Haditsah
Pada Masalah-Masalah Kontemporer
Hukum Islam. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Hukum Islam. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
·
Qordhawi, Yusuf, DR.. 2003. Halal Haram dalam Islam.
Surakarta. Era Intermedia
·
Utomo, Setiawan Budi. 2003. Fiqih Aktual Jawaban
Tuntas Masalah Kontemporer. Jakarta
: Gema Insani Press.
: Gema Insani Press.
·
Zuhdi, Masjfuk. 1996. Masail Fiqhiyah. .
Jakarta : PT. Gunung Agung
[1]Zuhdi, Masjfuk. 1996. Masail Fiqhiyah. . Jakarta : PT. Gunung Agung.
hal. 161
[2] Utomo, Setiawan Budi.
2003. Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer. Jakarta: Gema
Insani Press. Hal. 177
[3]
Hasan, M.Ali. 1995. Masail
Fiqhiyah Al-Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam. Jakarta
: RajaGrafindo Persada. Hal. 145
[4] Utomo, Setiawan Budi.
2003. Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer. Jakarta: Gema
Insani Press. Hal. 178
[5] Utomo, Setiawan Budi.
2003. Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer. Jakarta : Gema
Insani Press. Hal. 178
[7]
DR.Yusuf Qordhawi. 2003. Halal
Haram dalam Islam. Surakarta. Era Intermedia. hal. 459
[8]
Drs. H. Aliy As’ad. 1979. Tarjamah
Fathul Mu’in. Kudus. Menara Kudus. hal. 268
[9] Zuhdi, Masjfuk. 1996. Masail
Fiqhiyah. . Jakarta : PT. Gunung Agung. hal. 163
[10] Utomo, Setiawan Budi.
2003. Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer. Jakarta : Gema
Insani Press. hal. 180
[11] http://blog.wiemasen.com/2009/02/25/hukum-euthanasia/