Jumat, 08 November 2013

eutanasia


BAB I
PENDAHULUAN
A.     LATAR BELAKANG MASALAH
Perkembangan moral dan etika di tengah-tengah masyarakat akhir-akhir ini semakin pesat. Tak sampai disitu saja, perkembangan ini juga memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap pola pikir dan pilihan yang diambil oleh mereka, bentuk dan perkembangan moral dan etika yang terjadi di masyarakat bermacam-macam dan salah satunya adalah Euthanasia. Euthanasia merupakan suatu isu yang kompleks dan sangat kontroversial, sehingga melibatkan banyaknya pertanyaan yang membingungkan dan menimbulkan kubu yang pro dan kubu yang kontra.
Di dalam Al qur’an surat Al-Mulk ayat 2, diingatkan bahwa hidup dan mati adalah di tangan Tuhan yang Ia ciptakan untuk menguji iman, amalan, dan ketaatan manusia terhadap Tuhan, karena itu, islam sangat memperhatikan keselamatan hidup dan kehidupan manusia sejak ia berada di rahim ibunya sampai sepanjang hidupnya. Dan untuk melindungi keselamatan hidup dan kehidupan manusia itu, islam menetapkan berbagai norma hukum perdana dan perdata beserta sangsi – sangsi hukumannya, baik di dunia berupa hukuman had dan qisas termasuk hukuman mati, diyat (denda), atau ta’zir, ialah hukuman yang ditetapkan oleh ulul amr atau lembaga peradilan, maupun hukuman di akhirat berupa siksaan Tuhan di neraka kelak. Karena hidup dan mati ditangan Tuhan, maka islam melarang orang melakukan pembunuhan, baik terhadap orang lain maupun terhadap dirinya sendiri[1].
Setiap makhluk hidup, termasuk manusia akan mengalami siklus kehidupan yang dimulai dari proses pembuahan, kelahiran, kehidupan di dunia dengan berbagai permasalahannya, dan diakhiri dengan kematian. Dari berbagai siklus kehidupan di atas, kematian merupakan salah satu yang masih mengandung misteri yang sangat besar.
كل نفس ذائقة الموت ...... الآية  (آل عمران:185)
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati”
Sampai saat ini kematian merupakan misteri yang paling besar, dan ilmu pengetahuan belum berhasil menguaknya. Satu satunya jawaban tersedia di dalam ajaran agama. Kematian sebagai akhir dari rangkaian kehidupan di dunia ini, merupakan hak dari Tuhan. Tidak ada seorangpun yang berhak untuk menunda sedetikpun waktu kematiannya, termasuk mempercepat waktu kematiannya.

B.     RUMUSAN MASALAH
a)      Apa pengertian euthanasia?
b)      Bagaimana hukum islam tentang euthanasia?
c)      Bagaimana hukum positif tentang euthanasia?

C.     TUJUAN PENULISAN
a)      Untuk mengetahui pengertian euthanasia
b)      Untuk mengetahui hukum islam tentang euthanasia
c)      Untuk mengetahui hukum positif tentang euthanasia



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Euthanasia
Euthanasia secara bahasa berasal dari bahasa Yunani eu yang berarti “baik”, dan thanatos, yang berarti “kematian”[2]. Dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah qatlu ar-rahma atau taysir al-maut. Menurut istilah kedokteran, euthanasia berarti tindakan agar kesakitan atau penderitaan yang dialami seseorang yang akan meninggal diperingan. Juga berarti mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya[3].
B.     Macam Macam Euthanasia
Dalam praktik kedokteran, dikenal dua macam euthanasia[4], yaitu:
I.            Euthanasia aktif
Euthanasia aktif adalah tindakan dokter mempercepat kematian pasien dengan memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut. Suntikan diberikan pada saat keadaan penyakit pasien sudah sangat parah atau sudah sampai pada stadium akhir, yang menurut perhitungan medis sudah tidak mungkin lagi bisa sembuh atau bertahan lama. Alasan yang biasanya dikemukakan dokter adalah bahwa pengobatan yang diberikan hanya akan memperpanjang penderitaan pasien serta tidak akan mengurangi sakit yang memang sudah parah.
Contoh euthanasia aktif, misalnya ada seseorang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang luar biasa sehingga pasien sering kali pingsan. Dalam hal ini, dokter yakin yang bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya sekaligus.
II.            Euthanasia Pasif
Adapun euthanasia pasif, adalah tindakan dokter menghentikan pengobatan pasien yang menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan. Penghentian pengobatan ini berarti mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim dikemukakan dokter adalah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas, sementara dana yang dibutuhkan untuk pengobatan sangat tinggi, sedangkan fungsi pengobatan menurut perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi. Terdapat tindakan lain yang bisa digolongkan euthanasia pasif, yaitu tindakan dokter menghentikan pengobatan terhadap pasien yang menurut penelitian medis masih mungkin sembuh. Alasan yang dikemukakan dokter umumnya adalah ketidakmampuan pasien dari segi ekonomi, yang tidak mampu lagi membiayai dana pengobatan yang sangat tinggi.
Contoh euthanasia pasif, misalkan penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada otak yang tidak ada harapan untuk sembuh. Atau, orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati maka dapat mematikan penderita. Dalam kondisi demikian, jika pengobatan terhadapnya dihentikan, akan dapat mempercepat kematiannya.
Menurut Deklarasi Lisabon 1981, euthanasia dari sudut kemanusiaan dibenarkan dan merupakan hak bagi pasien yang menderita sakit yang tidak dapat disembuhkan. Namun dalam praktiknya dokter tidak mudah melakukan euthanasia, karena ada dua kendala. Pertama, dokter terikat dengan kode etik kedokteran bahwa ia dituntut membantu meringankan penderitaan pasien Tapi di sisi lain, dokter menghilangkan nyawa orang lain yang berarti melanggar kode etik kedokteran itu sendiri. Kedua, tindakan menghilangkan nyawa orang lain merupakan tindak pidana di negara mana pun[5].
C.    Hak pasien dan pembatasannya
Penghormatan hak pasien untuk penentuan nasib sendiri masih memerlukan pertimbangan dari seorang dokter terhadap pengobatannya.Hal ini berarti para dokter harus mendahulukan proses pembuatan keputusan yang normal dan berusaha bertindak sesuai dengan kemauan pasien sehingga keputusan dapat diambil berdasarkan pertimbangan yang matang.Pasien harus diberi kesempatan yang luas untuk memutuskan nasibnya tanpa adanya tekanan dari pihak manapun setelah diberikan informasi yang cukup sehingga keputusannya diambil melalui pertimbangan yang jelas.Beberapa pasien tidak dapat menentukan pilihan pengobatan sehingga harus orang lain yang memutuskan apa tindakan yang terbaik bagi pasien itu.Orang lain disni tentu dimaksudkan orang yang paling dekat dengan pasien dan dokter harus menghargai pendapat-pendapat tersebut.
D.    Kewajiban perawat dalam kasus euthanasia
a.       memfasilitasi klien dalam memenuhi kebutuhan dasarnya
b.      membantu proses adaptasi klien terhadap penyakit / masalah yang sedang dihadapinya
c.       mengoptimalkan system dukungan
d.      membantu klien untuk menemukan mekanisme koping yang adaptif terhadap masalah yang telah dihadapi
e.       membantu klien untuk lebih mendekatkan diri kepada tuhan yang maha esa sesuai dengan keyakinannya[6].

E.     Pandangan Syariah Islam
Syariah Islam merupakan syariah sempurna yang mampu mengatasi segala persoalan di segala waktu dan tempat. Berikut ini solusi syariah terhadap euthanasia, baik euthanasia aktif maupun euthanasia pasif.
1.      Euthanasia Aktif
Syariah Islam mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad), walaupun niatnya baik yaitu untuk meringankan penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram, walaupun atas permintaan pasien sendiri atau keluarganya.
Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri sendiri. Misalnya firman Allah SWT :
....... و لا تقتلوا النفس التي حرم الله إلا بالحق.... الآية.(الأنعام:151)
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS Al-An’aam : 151)
و ما كان لمؤمن أن يقتل مؤمنا إلا خطأ.... الآية. (النساء: 92)
“Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja)…” (QS An-Nisaa` : 92)
.......و لا تقتلوا أنفسكم إن الله كان بكم رحيما.... الآية. (النساء: 29)
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS An-Nisaa` : 29)[7].
Dari dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya bagi dokter melakukan euthanasia aktif. Sebab tindakan itu termasuk ke dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad) yang merupakan tindak pidana (jarimah) dan dosa besar.
Dokter yang melakukan euthanasia aktif, misalnya dengan memberikan suntikan mematikan, menurut hukum pidana Islam akan dijatuhi qishash (hukuman mati karena membunuh), oleh pemerintahan Islam (Khilafah), sesuai firman Allah :
يا ايها الذين آمنوا كتب عليكم القصاص في القتلى.... الآية.(البقرة: 178)
“Telah diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.” (QS Al-Baqarah : 178)
Namun jika keluarga terbunuh (waliyyul maqtuul) menggugurkan qishash (dengan memaafkan), qishash tidak dilaksanakan. Selanjutnya mereka mempunyai dua pilihan lagi, meminta diyat (tebusan), atau memaafkan/menyedekahkan.
Firman Allah SWT : 
....... فمن عفي له من أخيه شيء فاتباع بالمعروف و أداء إليه بإحسان .... الآية.(البقرة: 178)
“Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula).” (QS Al-Baqarah : 178)
Diyat untuk pembunuhan sengaja adalah 100 ekor unta di mana 40 ekor di antaranya dalam keadaan bunting (khalifah), 30 ekor umur 3 tahun (hiqqah) dan 30 ekor berumur 4 tahun (jadzaah) berdasarkan hadits Nabi riwayat An-Nasa`i[8]. Jika dibayar dalam bentuk dinar (uang emas) atau dirham (uang perak), maka diyatnya adalah 1000 dinar, atau senilai 4250 gram emas (1 dinar = 4,25 gram emas), atau 12.000 dirham, atau senilai 35.700 gram perak (1 dirham = 2,975 gram perak).
Tidak dapat diterima, alasan euthanasia aktif yang sering dikemukakan yaitu kasihan melihat penderitaan pasien sehingga kemudian dokter memudahkan kematiannya. Alasan ini hanya melihat aspek lahiriah (empiris), padahal di balik itu ada aspek-aspek lainnya yang tidak diketahui dan tidak dijangkau manusia. Dengan mempercepat kematian pasien dengan euthanasia aktif, pasien tidak mendapatkan manfaat (hikmah) dari ujian sakit yang diberikan Allah kepada-Nya, yaitu pengampunan dosa. Rasulullah SAW bersabda,”Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan, maupun penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah yang menimpanya itu.” (HR Bukhari dan Muslim).
“Telah ada diantara orang-orang sebelum kamu seorang laki-laki yang mendapat luka, lalu keluh kesahlah ia. Maka ia mengambil pisau lalu memotong tangannya dengan pisau itu. Kemudian tidak berhenti-henti darahnya keluar sehingga ia mati. Maka Allah berfirman : hambaku telah menyegerakan kematiannya sebelum aku mematikan. Aku mengharamkan surga untuknya.” (HR Bukhari dan Muslim)[9].
2.      Euthanasia Pasif
Adapun hukum euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk dalam praktik menghentikan pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan dokter bahwa pengobatan yag dilakukan tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan sembuh kepada pasien. Karena itu, dokter menghentikan pengobatan kepada pasien, misalnya dengan cara menghentikan alat pernapasan buatan dari tubuh pasien.
Bagaimanakah hukumnya menurut Syariah Islam?
Jawaban untuk pertanyaan itu, bergantung kepada pengetahuan kita tentang hukum berobat (at-tadaawi) itu sendiri. Yakni, apakah berobat itu wajib, mandub,mubah, atau makruh? Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat itu hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib. Namun sebagian ulama ada yang mewajibkan berobat, seperti kalangan ulama Syafiiyah dan Hanabilah, seperti dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah[10].
Dasar dari pada kewajiban berobat oleh sebagian ulama adalah hadits bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula obatnya. Maka berobatlah kalian!” (HR Ahmad, dari Anas RA)
Hadits di atas menunjukkan Rasulullah SAW memerintahkan untuk berobat. Menurut ilmu Ushul Fiqih, perintah (al-amr) itu hanya memberi makna adanya tuntutan (li ath-thalab), bukan menunjukkan kewajiban (li al-wujub). Ini sesuai kaidah ushul :
الأصل في الأمر للطلب
“Perintah itu pada asalnya adalah sekedar menunjukkan adanya tuntutan.”
Jadi, hadits riwayat Imam Ahmad di atas hanya menuntut kita berobat. Dalam hadits itu tidak terdapat suatu indikasi pun bahwa tuntutan itu bersifat wajib. Bahkan, qarinah yang ada dalam hadits-hadits lain justru menunjukkan bahwa perintah di atas tidak bersifat wajib. Hadits-hadits lain itu membolehkan tidak berobat.
Di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, bahwa seorang perempuan hitam pernah datang kepada Nabi SAW lalu berkata,”Sesungguhnya aku terkena penyakit ayan (epilepsi) dan sering tersingkap auratku [saat kambuh]. Berdoalah kepada Allah untuk kesembuhanku!” Nabi SAW berkata,”Jika kamu mau, kamu bersabar dan akan mendapat surga. Jika tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.” Perempuan itu berkata,”Baiklah aku akan bersabar,” lalu dia berkata lagi,”Sesungguhnya auratku sering tersingkap [saat ayanku kambuh], maka berdoalah kepada Allah agar auratku tidak tersingkap.” Maka Nabi SAW lalu berdoa untuknya. (HR Bukhari)
Hadits di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadits ini digabungkan dengan hadits pertama di atas yang memerintahkan berobat, maka hadits terakhir ini menjadi indikasi (qarinah), bahwa perintah berobat adalah perintah sunnah, bukan perintah wajib. Kesimpulannya, hukum berobat adalah sunnah (mandub), bukan wajib.
Dengan demikian, jelaslah pengobatan atau berobat hukumnya sunnah, termasuk dalam hal ini memasang alat-alat bantu bagi pasien. Jika memasang alat-alat ini hukumnya sunnah, maka jika para dokter telah menetapkan bahwa si pasien telah mati organ otaknya, maka para dokter berhak menghentikan pengobatan, seperti menghentikan alat bantu pernapasan dan sebagainya. Sebab pada dasarnya penggunaan alat-alat bantu tersebut adalah termasuk aktivitas pengobatan yang hukumnya sunnah, bukan wajib. Kematian otak tersebut berarti secara pasti tidak memungkinkan lagi kembalinya kehidupan bagi pasien. Meskipun sebagian organ vital lainnya masih bisa berfungsi, tetap tidak akan dapat mengembalikan kehidupan kepada pasien, karena organ-organ ini pun akan segera tidak berfungsi.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka hukum pemasangan alat-alat bantu kepada pasien adalah sunnah, karena termasuk aktivitas berobat yang hukumnya sunnah. Karena itu, hukum euthanasia pasif dalam arti menghentikan pengobatan dengan mencabut alat-alat bantu pada pasien-setelah matinya/rusaknya organ otak hukumnya boleh (jaiz) dan tidak haram bagi dokter. Jadi setelah mencabut alat-alat tersebut dari tubuh pasien, dokter tidak dapat dapat dikatakan berdosa dan tidak dapat dimintai tanggung jawab mengenai tindakannya itu.
Namun untuk bebasnya tanggung jawab dokter, disyaratkan adanya izin dari pasien, walinya, atau washi-nya (washi adalah orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan mengurus pasien). Jika pasien tidak mempunyai wali, atau washi, maka wajib diperlukan izin dari pihak penguasa (Al-Hakim/Ulil Amri).
F.     Pandangan Hukum Positif Tentang Euthanasia[11]
1.      Menurut Aspek Medis
Dalam bidang kedokteran, euthanasia merupakan sebuah dilema yang menempatkan seorang dokter dalam posisi yang serba sulit. Euthanasia berarti kematian yang membahagiakan atau mati cepat tanpa derita. Dalam perkembangannya pengertian ini berkembang menjadi pembunuhan atau pengakhiran hidup karena belas kasihan (mercy killing) dan membiarkan seseorang untuk mati secara menyenangkan (mercy death). 
Selain tanggung jawab medik, seorang dokter harus dapat mempertanggung jawabkan semua perbuatannya terhadap pasien menurut hukum yang berlaku. Para dokter harus menyadari bahwa euthanasia ternyata memiliki muatan hukum dibandingkan dengan masalah teknis-medis lainnya. Baik menurut Sumpah Dokter maupun Etika Kedokteran, euthanasia tidak diperbolehkan untuk dilakukan. Dalam pasal 9, bab II (1969) Kode Etik Kedokteran Indonesia tentang kewajiban dokter kepada pasien, disebutkan bahwa seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani. Ini berarti bahwa menurut kode etik kedokteran, dokter tidak diperbolehkan mengakhiri hidup seorang yang sakit meskipun menurut pengetahuan dan pengalaman tidak akan sembuh lagi. Tetapi apabila pasien sudah dipastikan mengalami kematian batang otak atau kehilangan fungsi otaknya sama sekali, maka pasien tersebut secara keseluruhan telah mati walaupun jantungnya masih berdenyut. Penghentian tindakan terapeutik harus diputuskan oleh dokter yang berpengalaman yang mengalami kasus-kasus secara keseluruhan dan sebaiknya hal itu dilakukan setelah diadakan konsultasi dengan dokter yang berpengalaman, selain harus pula dipertimbangkan keinginan pasien, kelurga pasien, dan kualitas hidup terbaik yang diharapkan. Dengan demikian, dasar etik moral untuk melakukan euthanasia adalah memperpendek atau mengakhiri penderitaan pasien dan bukan mengakhiri hidup pasien.
2.      Menurut Aspek Hukum
Dari sudut hukum pidana KUHP mengatur masalah euthanasia melalui beberapa pasal khususnya pasal 344 yang sering disebut sebagai “pasal euthanasia”. Pasal ini berbunyi “barangsiapa menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun” . Jika dokter membiarkan pasien meninggal atau tidak melakukan suatu tindakan medis (euthanasia pasif), dokter dapat dituntut berdasarkan pasal 304 KUHP. Pasal tersebut berbunyi:
“barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seseorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara....”. 
Sebaliknya jika dilakukan suatu tindakan medis lalu pasien meninggal, dokter itu bisa dituntut karena menghilangkan nyawa orang lain. Selain itu pasal 35 mengatakan
“barangsiapa sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberi sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana paling lama empat tahun kalau orang itu jadi bunuh diri.”












BAB IV
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pemaparan makalah diatas, dapat disimpulkan bahwa Euthanasia tidak boleh dilakukan didunia Kedokteran maupun didalam kehidupan masyarakat karena hal tersebut melanggar Kode Etik Kedokteran dan melanggar KUHP didalam masyarakat. Disamping fakta bahwa Euthanasia itu dapat membantu masayarakat dalam memiliki hak dan kewajiban untuk mengakhiri kehidupan orang-orang yang mengalami koma yang tidak berpengharapan. Akan tetapi, hal penting yang perlu diingat dan perlu diperhatikan juga adalah bahwa tindakan Euthanasia itu sama dengan melakukan tindak pembunuhan dan mencabut hak hidup seseorang. Karena belum tentu orang-orang yang berada dalam kesakitan yang hebat dan menginginkan kematian sungguh-sungguh mengetahui apa yang dikehendakinya. Sebagai manusia yang berpikir kritis kita harus ingat bahwa kita adalah manusia ciptaan Tuhan, yang telah diberikan akal dan budi agar mampu mengembangkan secara maksimal apa yang telah diberikanNya kita dengan kreatif dan mampu mengatur diri kita sehingga tidak menyalahgunakan apa yang telah diberikanNya kepada kita untuk melakukan hal-hal yang tidak bertanggung jawab yang bertentangan dengan moral dan etika, seperti membunuh orang dengan cara apapun.
Oleh karena itu, kita sebagai manusia yang memiliki Critical Thinking, kita perlu menolak Euthanasia ini, sebab ketika kita menyetujui hal ini, kita sama saja dengan orang yang tidak beragama dan tidak memiliki moral serta etika yang baik yang menginginkan kematian dan pembunuhan terhadap orang lain.


DAFTAR PUSTAKA

·         As’ad,  Aliy, Drs. H. 1979. Tarjamah Fathul Mu’in. Kudus. Menara Kudus
·         Hasan, M.Ali. 1995. Masail Fiqhiyah Al-Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer
Hukum Islam
. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
·         Qordhawi, Yusuf, DR.. 2003. Halal Haram dalam Islam. Surakarta. Era Intermedia
·         Utomo, Setiawan Budi. 2003. Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer. Jakarta
: Gema Insani Press.
·         Zuhdi, Masjfuk. 1996. Masail Fiqhiyah. . Jakarta : PT. Gunung Agung


[1]Zuhdi, Masjfuk. 1996. Masail Fiqhiyah. . Jakarta : PT. Gunung Agung. hal. 161

[2] Utomo, Setiawan Budi. 2003. Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer. Jakarta: Gema Insani Press. Hal. 177
[3] Hasan, M.Ali. 1995. Masail Fiqhiyah Al-Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam. Jakarta : RajaGrafindo Persada. Hal. 145
[4] Utomo, Setiawan Budi. 2003. Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer. Jakarta: Gema Insani Press. Hal. 178
[5] Utomo, Setiawan Budi. 2003. Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer. Jakarta : Gema Insani Press. Hal. 178
[7] DR.Yusuf Qordhawi. 2003. Halal Haram dalam Islam. Surakarta. Era Intermedia. hal. 459

[8] Drs. H. Aliy As’ad. 1979. Tarjamah Fathul Mu’in. Kudus. Menara Kudus. hal. 268
[9] Zuhdi, Masjfuk. 1996. Masail Fiqhiyah. . Jakarta : PT. Gunung Agung. hal. 163
[10] Utomo, Setiawan Budi. 2003. Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer. Jakarta : Gema Insani Press. hal. 180
[11] http://blog.wiemasen.com/2009/02/25/hukum-euthanasia/